Kakak (Cerpen)
Seorang pria sedang berjalan santai dengan headseat yang terpasang
dikedua telinganya. Dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya, ia nampak
misterius. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku jaket. Mata yang tertutupi dengan
kacamata hitam. Ia terus berjalan dengan santai, tapi tidak dengan matanya yang
selalu melirik sekitar dengan awas. Ia masuk kedalam minimarket, berjalan
menuju jejeran minuman dingin. Mengambil satu minuman dingin bersoda lalu
menuju kasir untuk membayar minumannya. Setelahnya ia keluar dari minimarket
lalu menuju gang sempit yang tak jauh dari minimarket tersebut. Ia berjalan
dengan sesekali menegak minuman yang tadi ia beli. Sampai-sampai ia tak begitu
memperhatikan jalan dan menubruk seorang wanita muda yang sedang terburu-buru.
Minuman yang ia minum tumpah mengenai dirinya dan jatuh. Ia melepas
kacamata hitamnya dan menatap tajam perempuan dihadapannya. Perempuan
dihadapannya terkejut dengan mulut yang menganga dan mata melotot menatap
minuman yang tumpah. Kemudian mata perempuan tersebut menatap noda basah
dijaket pria yang tadi ia tabrak. Lalu menatap mata pria yang juga sedang menatapnya.
Perempuan itu termangu. Mata hazel yang berkilau, tampak dingin karena tatapan
tajam sang pria. Mata yang sangat jarang ditemui di negara seribu pulau ini –
Indonesia.
“Ehm, sudah mengagumi diriku nona?” pria itu berdeham menyadarkan
perempuan yang dari tadi menatap kagum dirinya. “Ma-maaf, maafkan aku. Astaga,
sungguh aku minta maaf,” sesal perempuan tersebut dengan menggelengkan kepala
agar sadar dari lamunannya, kemudian menunduk. Pria itu tak mau memperpanjang
masalahnya kemudian pergi berlalu melewati perempuan itu begitu saja. Perempuan
itu memejamkan matanya, memikirkan sesuatu. Lalu berbalik untuk mengejar pria
yang tadi ditabraknya.
“Hei! Tunggu! Aku sungguh minta maaf. Bagaimana sebagai permintaan
maafku, aku traktir kau kopi? Bagaimana?” tawar perempuan itu dengan langkah
kaki yang berusaha menyamai langkah kaki pria disampingnya ini. Pria itu berhenti
lalu menoleh kearah perempuan yang menabraknya tadi. “Aku sibuk. Pergilah, aku
memaafkanmu.” Jawab pria itu singkat lalu berlalu pergi meninggalkan perempuan
berambut sebahu itu. Perempuan itu diam, lalu menghela nafas singkat. Traktir?
Itu hanya taktik dirinya untuk mengajak ngobrol pria yang ditabraknya tadi. Ia
merasa pria itu adalah orang yang selalu melindunginya dimasa lalu. Menatap
punggung pria yang dia tabrak tadi kemudian juga berlalu pergi berlawanan arah
dengan pria itu.
Beberapa hari kemudian...
Seorang dengan pakaian serba hitam yang wajahnya ditutupi oleh kain
hitam dan hanya menyisakan matanya untuk melihat, sedang berlarian diatas atap
gedung bangunan besar. Ia berlari dengan lincahnya dan melompat dari atap ke
atap yang lainnya. Terlihat jelas ia begitu ahli dalam hal melompat dari satu
gedung ke gedung lain. Ia mendapatkan keahlian tersebut karena latihan dengan
seseorang yang memang menginginkan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Ia
berhenti di sebuah gedung tua yang tak terpakai disudut kota. Ia masuk melewati
sebuah jendela dan menyusuri lorong gelap bangunan dengan tatapan yang tajam.
Ia berhenti saat mendengar suara orang berbicara. Ia berjalan dengan hati-hati
dan perlahan menuju suara orang berbicara tersebut. Ia menajamkan
pendengarannya saat sudah dekat dengan target yang diincarnya. Dari balik jaket
hitam yang digunakannya, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat yang selalu ia
gunakan untuk melumpuhkan targetnya.
“Menurutmu, apa yang ada didalam kotak yang kita jaga ini?” tanya
salah seorang pria berkepala setengah botak dengan tato kalajengking
dilehernya. “Entahlah. Kita disini untuk menjaga kotak ini sampai bos datang
untuk mengambilnya. Kita tak ada hak untuk membukanya,” jawab seorang pria
berambut sebahu yang kedua lengannya dipenuhi tato. Anehnya, setelah percakapan
mereka, mereka tak lagi bicara. Saling diam, seakan bersiap melakukan sesuatu.
Seorang yang masih bersembunyi itu tahu kalau keberadaannya telah
diketahui oleh dua orang pria yang sedang ia intai. Ia sudah bersiap akan maju
menyerang, tapi tanpa ia duga pria berkepala setengah botak melesatkan sebuah
tembakan kearahnya. Hampir ia terkena tembakan jika ia tak segera menghindar.
Ia mengambil sebuah tutup sampah berbahan besi yang berada didekatnya untuk
melindungi dirinya. Ia maju kedepan dengan cepat. Tangan kanannya yang memegang
pisau yang tadi sudah ia siapkan, ia lempar kearah pria setengah botak tadi dan
langsung mengenai dada sebelah kiri. Tepat menusuk jantung pria setengah botak
tadi.
Ia langsung berlindung dibalik sebuah meja besi yang ada didalam
ruangan tersebut. Ia tendang sampai jatuh kesamping. Ia segera mengambil pisau
lipatnya yang lain didalam jaket hitamnya. Sebelum ia ingin melemparnya kearah
pria satunya, ia kembali menunduk dan berlindung karena tembakan yang melesat
kearahnya. Tanpa pikir panjang lagi karena waktunya yang semakin menipis, ia
langsung melempar pisaunya dengan cepat dan mengenai kepala pria berambut
panjang. Dua orang pria yang menjaga sebuah kotak hitam itu tergeletak tanpa
daya karena pisaunya. Langsung saja ia mengambil kotak hitam tersebut kemudian
lari dan melompat melalui jendela kecil didalam ruangan tersebut. Sebelum ia
melompat, ia tertembak dibagian punggungnya karena serbuan tembakan hingga ia
jatuh terjerembab ke tanah dengan keras.
Sudah ia duga, tembakan yang berasal dari kedua pria yang menjaga
kotak hitam yang diambilnya akan mengundang sekelompok penjaga lainnya. Dengan
menahan sakit, ia berlari masuk ke dalam hutan tak jauh dari bangunan tua
tersebut. Ia terus berlari karena ia tahu ia sedang dikejar segerombolan
pasukan bersenjata yang menjaga kotak hitam ini. Ia terus berlari hingga ia
menemukan sebuah lubang kecil seukuran anak 10 tahun disebuah pohon besar. Ia
masuk kedalam lubang tersebut, ternyata cukup dalam untuk menutupi tubuh
tingginya. Ia mengatur nafasnya dan mengambil daun-daun kering untuk menutupi
sedikit jejaknya disekitar pohon yang menjadi tempatnya bersembunyi sekarang.
Mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, ia lalu diam. Dapat
ia lihat kaki-kaki dari pasukan yang mengejarnya. Kaki-kaki itu lalu pergi
menjauh tanpa melihat lubang yang menjadi persembunyiannya. Ia segera keluar
dari lubang dan terkejutnya ia saat mendapati seorang perempuan tengah berdiri
dihadapannya. Ia mengamati wajah perempuan dihadapannya dengan seksama, ia seperti
mengenal perempuan dihadapannya. Ah! Ia ingat, perempuan dihadapannya ini
adalah perempuan yang menabrak dirinya di gang kecil waktu itu. Perempuan itu
juga menatap kembali mata hazel yang dimiliki pria laki-laki dihadapannya.
“Kakak,” ucap perempuan itu lirih. Walau lirih itu masih terdengar
oleh laki-laki yang masih menggenggam kotak hitam tadi. Laki-laki itu menoleh
seketika saat mendengar sebuah kata yang terucap dari mulut perempuan
dihadapannya.
“Matamu sama seperti mataku. Kau kakakku kan? Kak Rama. Kau kak
Rama kan? Aku Ratih kak... Adik kakak,” ucap perempuan itu lirih. Tersembunyi
kesedihan disetiap ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Mata yang sama dengan miliknya.
Beberapa saat yang lalu sebelum kejadian pencurian kotak hitam...
Perempuan yang sedang memikirkan kejadian dimana ia menabrak
seorang pria yang ia yakini sebagai orang dimasa lalunya. Perempuan itu sedang
berjalan dijalan sepi pinggir kota. Ia lalu menengadahkan kepalanya untuk
melihat langit malam yang tampak cerah hari ini. Tampak bintang-bintang dan
bulan bersinar dengan indahnya. Tapi, bukan itu yang memancing eksistensinya.
Ia melihat seseorang dengan pakaian gelap meloncat-loncat diatap gedung dengan
lincahnya. Ia terus menatap orang tersebut sampai mengikutinya disebuah gedung
tua yang sepi.
Ia bersembunyi dibalik pohon yang berada agak jauh dari gedung tua
yang dimasuki oleh orang berpakaian gelap tadi. Ia penasaran terhadap orang
yang berlarian dari atas gedung dengan lincahnya. Tapi, ia melihat disekitar
gedung tua itu dipenuhi oleh orang-orang asing yang memegang sebuah senjata
api. Ia menatap ngeri senjata yang dipegang oleh beberapa orang diluar gedung
tua tersebut. Saat ia ingin pergi dari tempat itu untuk melapor kepada pihak
berwajib, ia mendengar sebuah tembakan dari dalam gedung tua. Ia mengurungkan
niatnya untuk lari dari tempat itu. Orang-orang yang berada diluar gedung
langsung berlarian masuk kedalam gedung tersebut dengan tergesa-gesa.
Ia mengurungkan niatnya untuk lari dan tetap bertahan. Tak
berselang lama, terdengar tembakan lagi. Jeda beberapa saat terdengar tembakan
lagi. Setelahnya tembakan terus bersahutan memekakan telinga. Ia melihat
seseorang berbaju gelap terjatuh dari jendela yang cukup tinggi. Lalu, orang
itu masuk kedalam hutan dengan cepat walau ia terjatuh dari jendela yang cukup
tinggi. Ia mengikuti orang tersebut dan para orang bersenjata kedalam hutan. Ia
masih menjaga jarak karena ia tak ingin terlibat. Ia dapat melihat kalau para
orang bersenjata mulai kebingungan karena telah kehilangan orang yang mereka
incar.
Ia mencoba mendekat dan dapat ia lihat kalau ada sebuah lubang
dipohon besar dekat para orang bersenjata. Ia mengambil batu dan melempar jauh
kearah dalam hutan tersebut agar para orang bersenjata tak berada disekitar
lubang pohon tersebut. Ia cukup yakin kalau orang berpakaian gelap tadi
bersembunyi didalam lubang tersebut karena tak mungkin bagi orang tersebut
untuk lari semakin jauh kedalam hutan. Dan rencananya berhasil. Para orang
bersenjata lari kearah batu yang tadi ia lempar. Setelah para orang bersenjata
lari cukup jauh masuk kedalam hutan, ia lalu menghampiri lubang pohon tersebut
dan berdiri tepat dihadapan orang berpakaian gelap. Ada raut keterkejutan dari
wajah tampan orang dihadapannya. Dan tak disangkanya, ternyata orang berpakaian
gelap itu adalah orang yang beberapa hari lalu ia tabrak saat berjalan disebuah
gang kecil.
Ia menatap mata itu. Mata yang sama dengan orang sangat ia rindukan
selama ini. Orang selalu melindunginya sejak kecil, mungkin sejak masih didalam
kandungan ibunya.
“Kakak,” ucapnya lirih penuh kerinduan. Pria dihadapannya yang tadi
menatap sekitar langsung menoleh kearahnya. Pria itu menatap tajam perempuan
dihadapannya.
“Matamu sama seperti mataku. Kau kakakku kan? Kak Rama. Kau kak
Rama kan? Aku Ratih kak... Adik kakak. Aku sangat merindukanmu, kak Rama,” ucap perempuan itu lirih. Tersembunyi
kesedihan disetiap ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Mata yang sama dengan
miliknya.
****
Masih didalam hutan yang lebat dan gelap. Walau gelap masih ada
cahaya dari rembulan dilangit yang sangat cerah hari ini. Ratih menatap pria
yang lama tak ia jumpa itu. Ia masih mengingat kakaknya. Dulu kakaknya itu
memiliki tubuh berisi, malah sangat berisi alias gendut. Tapi, sekarang orang
dihadapannya ini begitu tinggi dan kekar. Bahkan dirinya hanya sebatas dada
pria dihadapannya ini.
“Apa aku salah?” tanya Ratih lirih sambil tangannya terangkat
mengusap wajah pria dihadapannya. Kemudian ia menunduk dan menurunkan tangannya
yang tadi mengusap sedikit pipi pria dihadapannya. Ia menahan untuk menangis.
“Ratih, ternyata kau masih hidup.”
Ratih tak salah dengar dengan apa yang diucapkan pria dihadapannya
sekarang. Ratih mendongak menatap mata pria yang ia akui sebagai kakaknya.
Ratih kemudian menubrukkan kepalanya kedalam dada bidang pria dihadapannya.
Ratih menangis terisak. Ia senang akhirnya bertemu kembali dengan kakaknya. Ia
memeluk Rama erat-erat, seolah tubuh itu akan hilang jika ia lepas pelukannya.
Terdengar suara berisik semak-semak dan daun-daun kering yang
terinjak. Suara bisik-bisik juga terdengar samar-samar. Ratih merasakan tubuh
dihadapannya sekarang menegang. Rama melepas pelukan adiknya. Ia juga sangat
merindukan adiknya. Tapi, situasi sekarang memaksanya untuk tak bertemu dengan
Ratih. Ia tak mau melukai adiknya. Ia sudah berjanji pada ayah dan bunda untuk
melindungi Ratih apapun yang terjadi nanti.
Rama tak bisa melibatkan adiknya dalam masalah ini. Rama bukan
orang bebas, ia sedang terkurung oleh sebuah janji lain. “Ratih, sekarang kau
lari. Pergi jauh. Lupakan kakak sekarang. Kau pergilah! Pergi! Akhh!” Rama
merasa sakit dipunggungnya karena tembakan tadi saat ia akan melarikan diri.
Tapi, itu tak seberapa saat ia harus mengusir adiknya lagi.
“Gak mau! Aku mau sama kakak. Aku mohon, biarkan aku membantu kali
ini. Aku mohon,” mohon Ratih sedih. Ia tahu kakaknya terluka. Ia melihat semua
kejadian yang di alami kakaknya tadi. Bagaimana kakaknya terjatuh dari gedung
tua, apalagi tadi juga terdengar suara tembakan. Ratih tak bodoh untuk
memikirkan bagaimana kakaknya terluka.
Tanpa persetujuan Rama, Ratih langsung memapah Rama pergi dari
hutan. Ratih memapah Rama keluar hutan melalui jalan yang ia pakai saat
mengikuti Rama dan pasukan bersenjata tadi. Saat mereka sampai dipinggir hutan,
mereka berhenti dibalik semak-semak untuk bersembunyi karena terdapat mobil
yang melaju masuk hutan. Setelah tak terlihat, Ratih dan Rama langsung pergi
walau sedikit tertatih. Ratih membawa kakaknya menuju rumah yang ia tempati
sendiri. Rumah milik orangtua angkatnya yang sudah meninggal.
Sesampainya di rumah Ratih, Rama diletakkan diatas kasur miliknya
dengan hati-hati. Rama tengkurap karena punggungnya terluka. Ratih membawa
peralatan medis miliknya untuk mengeluarkan peluru dari punggung kakaknya. Ratih
membuka baju milik kakaknya dan memulai operasi pada punggung Rama. Ratih
seorang dokter bedah, ia akhirnya menjadi seorang dokter dengan kerja kerasnya
sendiri. Operasi berjalan lancar. Ratih kemudian membereskan semua peralatan
medisnya. Ia melihat sekali lagi kakaknya yang sedang terbaring tengkurap. Ia sangat
merindukan kakaknya, dan sekarang kakaknya ada dihadapannya sekarang. Ia sangat
senang, selama bertahun-tahun ia ingin sekali bertemu dengan kakaknya.
Ia tak pernah tahu dimana kakaknya berada. Ia sudah terpisah dengan
kakaknya sejak berumur 10 tahun di panti asuhan. Sejak kakaknya diadopsi oleh
orang berjas hitam dan bersamaan dengan dirinya yang diadopsi oleh sepasang
suami istri yang memakai jas putih. Ia menjadi dokter karena kedua orangtua
angkatnya yang sama-sama seorang dokter. Mereka tak dikaruniai seorang anak
maka mereka pun mengadopsi anak dipanti asuhan. Setiap pulang sekolah kemudian
sekarang pulang dari pekerjaannya, ia sering mengunjungi panti asuhan yang
sekarang sudah ditutup karena sudah tak lagi yang mau berdonasi. Ratih selalu
menunggu kakaknya hingga petang hari. Mereka pernah membuat janji untuk bertemu
lagi disana. Tapi, semua itu hanya sebuah janji.
Tak terasa ratih mulai terlelap karena mengingat semua kejadian
yang ia alami bersama kakaknya. Ia terlelap di sofa kamarnya. Bersamaan dengan
itu, Rama membuka matanya. Ia sudah bangun dari tidurnya karena bius. Ia melihat
Ratih terlelap disofa. Sambil menahan perih dipunggungnya, Rama menarik selimut
dikasur Ratih untuk menyelimuti adiknya itu. Rama mengusap wajah adiknya yang
sekarang sangat cantik. Ia pikir wanita yang menabrak dirinya beberapa hari
yang lalu bukanlah adiknya. Ia menepis pikiran tersebut saat ia menatap mata
adiknya beberapa hari lalu. Rama tak boleh bertemu adiknya, ini bisa
membahayakan nyawa adiknya. Adiknya harus tetap hidup dan hidup bahagia. Ia akan
mengorbankan nyawanya untuk adik tercintanya.
Rama langsung memakai kembali pakaian yang tadi dilepas oleh
adiknya. Rama mengambil kembali kotak hitam yang sempat ia letakkan begitu saja
dilantai karena saking lemasnya. Ia menatap sendu lagi wajah adiknya. Ia bangga
Ratih sekarang menjadi seorang dokter yang hebat. Walau sekarang ia ingin
berbicara banyak dan menghabiskan banyak waktu bersama adiknya. Ia tak boleh
terlalu lama disini, ia harus kembali ke markas seseorang yang telah mengambil
dan merawatnya menjadi dirinya sekarang.
“Selamat tinggal lagi Ratih. Kakak pergi lagi untuk menyelesaikan
urusan kakak. Kakak pasti akan kembali walau kakak tak tahu kapan itu waktunya. Kakak menyayangimu. Kakak akan merindukanmu,”
ucap Rama pergi langsung berlari menuju pintu keluar.
***SELESAI***
Komentar
Posting Komentar