Kakak (Cerpen)

    


Sumber gambar dari Pinterest


Seorang pria sedang berjalan santai dengan headseat yang terpasang dikedua telinganya. Dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya, ia nampak misterius. Kedua tangannya dimasukkan kedalam saku jaket. Mata yang tertutupi dengan kacamata hitam. Ia terus berjalan dengan santai, tapi tidak dengan matanya yang selalu melirik sekitar dengan awas. Ia masuk kedalam minimarket, berjalan menuju jejeran minuman dingin. Mengambil satu minuman dingin bersoda lalu menuju kasir untuk membayar minumannya. Setelahnya ia keluar dari minimarket lalu menuju gang sempit yang tak jauh dari minimarket tersebut. Ia berjalan dengan sesekali menegak minuman yang tadi ia beli. Sampai-sampai ia tak begitu memperhatikan jalan dan menubruk seorang wanita muda yang sedang terburu-buru.

Minuman yang ia minum tumpah mengenai dirinya dan jatuh. Ia melepas kacamata hitamnya dan menatap tajam perempuan dihadapannya. Perempuan dihadapannya terkejut dengan mulut yang menganga dan mata melotot menatap minuman yang tumpah. Kemudian mata perempuan tersebut menatap noda basah dijaket pria yang tadi ia tabrak. Lalu menatap mata pria yang juga sedang menatapnya. Perempuan itu termangu. Mata hazel yang berkilau, tampak dingin karena tatapan tajam sang pria. Mata yang sangat jarang ditemui di negara seribu pulau ini – Indonesia.  

“Ehm, sudah mengagumi diriku nona?” pria itu berdeham menyadarkan perempuan yang dari tadi menatap kagum dirinya. “Ma-maaf, maafkan aku. Astaga, sungguh aku minta maaf,” sesal perempuan tersebut dengan menggelengkan kepala agar sadar dari lamunannya, kemudian menunduk. Pria itu tak mau memperpanjang masalahnya kemudian pergi berlalu melewati perempuan itu begitu saja. Perempuan itu memejamkan matanya, memikirkan sesuatu. Lalu berbalik untuk mengejar pria yang tadi ditabraknya.

“Hei! Tunggu! Aku sungguh minta maaf. Bagaimana sebagai permintaan maafku, aku traktir kau kopi? Bagaimana?” tawar perempuan itu dengan langkah kaki yang berusaha menyamai langkah kaki pria disampingnya ini. Pria itu berhenti lalu menoleh kearah perempuan yang menabraknya tadi. “Aku sibuk. Pergilah, aku memaafkanmu.” Jawab pria itu singkat lalu berlalu pergi meninggalkan perempuan berambut sebahu itu. Perempuan itu diam, lalu menghela nafas singkat. Traktir? Itu hanya taktik dirinya untuk mengajak ngobrol pria yang ditabraknya tadi. Ia merasa pria itu adalah orang yang selalu melindunginya dimasa lalu. Menatap punggung pria yang dia tabrak tadi kemudian juga berlalu pergi berlawanan arah dengan pria itu.

Beberapa hari kemudian...

Seorang dengan pakaian serba hitam yang wajahnya ditutupi oleh kain hitam dan hanya menyisakan matanya untuk melihat, sedang berlarian diatas atap gedung bangunan besar. Ia berlari dengan lincahnya dan melompat dari atap ke atap yang lainnya. Terlihat jelas ia begitu ahli dalam hal melompat dari satu gedung ke gedung lain. Ia mendapatkan keahlian tersebut karena latihan dengan seseorang yang memang menginginkan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Ia berhenti di sebuah gedung tua yang tak terpakai disudut kota. Ia masuk melewati sebuah jendela dan menyusuri lorong gelap bangunan dengan tatapan yang tajam. Ia berhenti saat mendengar suara orang berbicara. Ia berjalan dengan hati-hati dan perlahan menuju suara orang berbicara tersebut. Ia menajamkan pendengarannya saat sudah dekat dengan target yang diincarnya. Dari balik jaket hitam yang digunakannya, ia mengeluarkan sebuah pisau lipat yang selalu ia gunakan untuk melumpuhkan targetnya.

“Menurutmu, apa yang ada didalam kotak yang kita jaga ini?” tanya salah seorang pria berkepala setengah botak dengan tato kalajengking dilehernya. “Entahlah. Kita disini untuk menjaga kotak ini sampai bos datang untuk mengambilnya. Kita tak ada hak untuk membukanya,” jawab seorang pria berambut sebahu yang kedua lengannya dipenuhi tato. Anehnya, setelah percakapan mereka, mereka tak lagi bicara. Saling diam, seakan bersiap melakukan sesuatu.

Seorang yang masih bersembunyi itu tahu kalau keberadaannya telah diketahui oleh dua orang pria yang sedang ia intai. Ia sudah bersiap akan maju menyerang, tapi tanpa ia duga pria berkepala setengah botak melesatkan sebuah tembakan kearahnya. Hampir ia terkena tembakan jika ia tak segera menghindar. Ia mengambil sebuah tutup sampah berbahan besi yang berada didekatnya untuk melindungi dirinya. Ia maju kedepan dengan cepat. Tangan kanannya yang memegang pisau yang tadi sudah ia siapkan, ia lempar kearah pria setengah botak tadi dan langsung mengenai dada sebelah kiri. Tepat menusuk jantung pria setengah botak tadi.

Ia langsung berlindung dibalik sebuah meja besi yang ada didalam ruangan tersebut. Ia tendang sampai jatuh kesamping. Ia segera mengambil pisau lipatnya yang lain didalam jaket hitamnya. Sebelum ia ingin melemparnya kearah pria satunya, ia kembali menunduk dan berlindung karena tembakan yang melesat kearahnya. Tanpa pikir panjang lagi karena waktunya yang semakin menipis, ia langsung melempar pisaunya dengan cepat dan mengenai kepala pria berambut panjang. Dua orang pria yang menjaga sebuah kotak hitam itu tergeletak tanpa daya karena pisaunya. Langsung saja ia mengambil kotak hitam tersebut kemudian lari dan melompat melalui jendela kecil didalam ruangan tersebut. Sebelum ia melompat, ia tertembak dibagian punggungnya karena serbuan tembakan hingga ia jatuh terjerembab ke tanah dengan keras.

Sudah ia duga, tembakan yang berasal dari kedua pria yang menjaga kotak hitam yang diambilnya akan mengundang sekelompok penjaga lainnya. Dengan menahan sakit, ia berlari masuk ke dalam hutan tak jauh dari bangunan tua tersebut. Ia terus berlari karena ia tahu ia sedang dikejar segerombolan pasukan bersenjata yang menjaga kotak hitam ini. Ia terus berlari hingga ia menemukan sebuah lubang kecil seukuran anak 10 tahun disebuah pohon besar. Ia masuk kedalam lubang tersebut, ternyata cukup dalam untuk menutupi tubuh tingginya. Ia mengatur nafasnya dan mengambil daun-daun kering untuk menutupi sedikit jejaknya disekitar pohon yang menjadi tempatnya bersembunyi sekarang.

Mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, ia lalu diam. Dapat ia lihat kaki-kaki dari pasukan yang mengejarnya. Kaki-kaki itu lalu pergi menjauh tanpa melihat lubang yang menjadi persembunyiannya. Ia segera keluar dari lubang dan terkejutnya ia saat mendapati seorang perempuan tengah berdiri dihadapannya. Ia mengamati wajah perempuan dihadapannya dengan seksama, ia seperti mengenal perempuan dihadapannya. Ah! Ia ingat, perempuan dihadapannya ini adalah perempuan yang menabrak dirinya di gang kecil waktu itu. Perempuan itu juga menatap kembali mata hazel yang dimiliki pria laki-laki dihadapannya.

“Kakak,” ucap perempuan itu lirih. Walau lirih itu masih terdengar oleh laki-laki yang masih menggenggam kotak hitam tadi. Laki-laki itu menoleh seketika saat mendengar sebuah kata yang terucap dari mulut perempuan dihadapannya.

“Matamu sama seperti mataku. Kau kakakku kan? Kak Rama. Kau kak Rama kan? Aku Ratih kak... Adik kakak,” ucap perempuan itu lirih. Tersembunyi kesedihan disetiap ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Mata yang sama dengan miliknya.

Beberapa saat yang lalu sebelum kejadian pencurian kotak hitam...

Perempuan yang sedang memikirkan kejadian dimana ia menabrak seorang pria yang ia yakini sebagai orang dimasa lalunya. Perempuan itu sedang berjalan dijalan sepi pinggir kota. Ia lalu menengadahkan kepalanya untuk melihat langit malam yang tampak cerah hari ini. Tampak bintang-bintang dan bulan bersinar dengan indahnya. Tapi, bukan itu yang memancing eksistensinya. Ia melihat seseorang dengan pakaian gelap meloncat-loncat diatap gedung dengan lincahnya. Ia terus menatap orang tersebut sampai mengikutinya disebuah gedung tua yang sepi.

Ia bersembunyi dibalik pohon yang berada agak jauh dari gedung tua yang dimasuki oleh orang berpakaian gelap tadi. Ia penasaran terhadap orang yang berlarian dari atas gedung dengan lincahnya. Tapi, ia melihat disekitar gedung tua itu dipenuhi oleh orang-orang asing yang memegang sebuah senjata api. Ia menatap ngeri senjata yang dipegang oleh beberapa orang diluar gedung tua tersebut. Saat ia ingin pergi dari tempat itu untuk melapor kepada pihak berwajib, ia mendengar sebuah tembakan dari dalam gedung tua. Ia mengurungkan niatnya untuk lari dari tempat itu. Orang-orang yang berada diluar gedung langsung berlarian masuk kedalam gedung tersebut dengan tergesa-gesa.

Ia mengurungkan niatnya untuk lari dan tetap bertahan. Tak berselang lama, terdengar tembakan lagi. Jeda beberapa saat terdengar tembakan lagi. Setelahnya tembakan terus bersahutan memekakan telinga. Ia melihat seseorang berbaju gelap terjatuh dari jendela yang cukup tinggi. Lalu, orang itu masuk kedalam hutan dengan cepat walau ia terjatuh dari jendela yang cukup tinggi. Ia mengikuti orang tersebut dan para orang bersenjata kedalam hutan. Ia masih menjaga jarak karena ia tak ingin terlibat. Ia dapat melihat kalau para orang bersenjata mulai kebingungan karena telah kehilangan orang yang mereka incar.

Ia mencoba mendekat dan dapat ia lihat kalau ada sebuah lubang dipohon besar dekat para orang bersenjata. Ia mengambil batu dan melempar jauh kearah dalam hutan tersebut agar para orang bersenjata tak berada disekitar lubang pohon tersebut. Ia cukup yakin kalau orang berpakaian gelap tadi bersembunyi didalam lubang tersebut karena tak mungkin bagi orang tersebut untuk lari semakin jauh kedalam hutan. Dan rencananya berhasil. Para orang bersenjata lari kearah batu yang tadi ia lempar. Setelah para orang bersenjata lari cukup jauh masuk kedalam hutan, ia lalu menghampiri lubang pohon tersebut dan berdiri tepat dihadapan orang berpakaian gelap. Ada raut keterkejutan dari wajah tampan orang dihadapannya. Dan tak disangkanya, ternyata orang berpakaian gelap itu adalah orang yang beberapa hari lalu ia tabrak saat berjalan disebuah gang kecil.

Ia menatap mata itu. Mata yang sama dengan orang sangat ia rindukan selama ini. Orang selalu melindunginya sejak kecil, mungkin sejak masih didalam kandungan ibunya.

“Kakak,” ucapnya lirih penuh kerinduan. Pria dihadapannya yang tadi menatap sekitar langsung menoleh kearahnya. Pria itu menatap tajam perempuan dihadapannya.

“Matamu sama seperti mataku. Kau kakakku kan? Kak Rama. Kau kak Rama kan? Aku Ratih kak... Adik kakak. Aku sangat merindukanmu, kak Rama,” ucap perempuan itu lirih. Tersembunyi kesedihan disetiap ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Mata yang sama dengan miliknya.

****

Masih didalam hutan yang lebat dan gelap. Walau gelap masih ada cahaya dari rembulan dilangit yang sangat cerah hari ini. Ratih menatap pria yang lama tak ia jumpa itu. Ia masih mengingat kakaknya. Dulu kakaknya itu memiliki tubuh berisi, malah sangat berisi alias gendut. Tapi, sekarang orang dihadapannya ini begitu tinggi dan kekar. Bahkan dirinya hanya sebatas dada pria dihadapannya ini.

“Apa aku salah?” tanya Ratih lirih sambil tangannya terangkat mengusap wajah pria dihadapannya. Kemudian ia menunduk dan menurunkan tangannya yang tadi mengusap sedikit pipi pria dihadapannya. Ia menahan untuk menangis.

“Ratih, ternyata kau masih hidup.”

Ratih tak salah dengar dengan apa yang diucapkan pria dihadapannya sekarang. Ratih mendongak menatap mata pria yang ia akui sebagai kakaknya. Ratih kemudian menubrukkan kepalanya kedalam dada bidang pria dihadapannya. Ratih menangis terisak. Ia senang akhirnya bertemu kembali dengan kakaknya. Ia memeluk Rama erat-erat, seolah tubuh itu akan hilang jika ia lepas pelukannya.

Terdengar suara berisik semak-semak dan daun-daun kering yang terinjak. Suara bisik-bisik juga terdengar samar-samar. Ratih merasakan tubuh dihadapannya sekarang menegang. Rama melepas pelukan adiknya. Ia juga sangat merindukan adiknya. Tapi, situasi sekarang memaksanya untuk tak bertemu dengan Ratih. Ia tak mau melukai adiknya. Ia sudah berjanji pada ayah dan bunda untuk melindungi Ratih apapun yang terjadi nanti.

Rama tak bisa melibatkan adiknya dalam masalah ini. Rama bukan orang bebas, ia sedang terkurung oleh sebuah janji lain. “Ratih, sekarang kau lari. Pergi jauh. Lupakan kakak sekarang. Kau pergilah! Pergi! Akhh!” Rama merasa sakit dipunggungnya karena tembakan tadi saat ia akan melarikan diri. Tapi, itu tak seberapa saat ia harus mengusir adiknya lagi.

“Gak mau! Aku mau sama kakak. Aku mohon, biarkan aku membantu kali ini. Aku mohon,” mohon Ratih sedih. Ia tahu kakaknya terluka. Ia melihat semua kejadian yang di alami kakaknya tadi. Bagaimana kakaknya terjatuh dari gedung tua, apalagi tadi juga terdengar suara tembakan. Ratih tak bodoh untuk memikirkan bagaimana kakaknya terluka.

Tanpa persetujuan Rama, Ratih langsung memapah Rama pergi dari hutan. Ratih memapah Rama keluar hutan melalui jalan yang ia pakai saat mengikuti Rama dan pasukan bersenjata tadi. Saat mereka sampai dipinggir hutan, mereka berhenti dibalik semak-semak untuk bersembunyi karena terdapat mobil yang melaju masuk hutan. Setelah tak terlihat, Ratih dan Rama langsung pergi walau sedikit tertatih. Ratih membawa kakaknya menuju rumah yang ia tempati sendiri. Rumah milik orangtua angkatnya yang sudah meninggal.

Sesampainya di rumah Ratih, Rama diletakkan diatas kasur miliknya dengan hati-hati. Rama tengkurap karena punggungnya terluka. Ratih membawa peralatan medis miliknya untuk mengeluarkan peluru dari punggung kakaknya. Ratih membuka baju milik kakaknya dan memulai operasi pada punggung Rama. Ratih seorang dokter bedah, ia akhirnya menjadi seorang dokter dengan kerja kerasnya sendiri. Operasi berjalan lancar. Ratih kemudian membereskan semua peralatan medisnya. Ia melihat sekali lagi kakaknya yang sedang terbaring tengkurap. Ia sangat merindukan kakaknya, dan sekarang kakaknya ada dihadapannya sekarang. Ia sangat senang, selama bertahun-tahun ia ingin sekali bertemu dengan kakaknya.

Ia tak pernah tahu dimana kakaknya berada. Ia sudah terpisah dengan kakaknya sejak berumur 10 tahun di panti asuhan. Sejak kakaknya diadopsi oleh orang berjas hitam dan bersamaan dengan dirinya yang diadopsi oleh sepasang suami istri yang memakai jas putih. Ia menjadi dokter karena kedua orangtua angkatnya yang sama-sama seorang dokter. Mereka tak dikaruniai seorang anak maka mereka pun mengadopsi anak dipanti asuhan. Setiap pulang sekolah kemudian sekarang pulang dari pekerjaannya, ia sering mengunjungi panti asuhan yang sekarang sudah ditutup karena sudah tak lagi yang mau berdonasi. Ratih selalu menunggu kakaknya hingga petang hari. Mereka pernah membuat janji untuk bertemu lagi disana. Tapi, semua itu hanya sebuah janji.

Tak terasa ratih mulai terlelap karena mengingat semua kejadian yang ia alami bersama kakaknya. Ia terlelap di sofa kamarnya. Bersamaan dengan itu, Rama membuka matanya. Ia sudah bangun dari tidurnya karena bius. Ia melihat Ratih terlelap disofa. Sambil menahan perih dipunggungnya, Rama menarik selimut dikasur Ratih untuk menyelimuti adiknya itu. Rama mengusap wajah adiknya yang sekarang sangat cantik. Ia pikir wanita yang menabrak dirinya beberapa hari yang lalu bukanlah adiknya. Ia menepis pikiran tersebut saat ia menatap mata adiknya beberapa hari lalu. Rama tak boleh bertemu adiknya, ini bisa membahayakan nyawa adiknya. Adiknya harus tetap hidup dan hidup bahagia. Ia akan mengorbankan nyawanya untuk adik tercintanya.

Rama langsung memakai kembali pakaian yang tadi dilepas oleh adiknya. Rama mengambil kembali kotak hitam yang sempat ia letakkan begitu saja dilantai karena saking lemasnya. Ia menatap sendu lagi wajah adiknya. Ia bangga Ratih sekarang menjadi seorang dokter yang hebat. Walau sekarang ia ingin berbicara banyak dan menghabiskan banyak waktu bersama adiknya. Ia tak boleh terlalu lama disini, ia harus kembali ke markas seseorang yang telah mengambil dan merawatnya menjadi dirinya sekarang.

“Selamat tinggal lagi Ratih. Kakak pergi lagi untuk menyelesaikan urusan kakak. Kakak pasti akan kembali walau kakak tak tahu kapan itu waktunya. Kakak menyayangimu. Kakak akan merindukanmu,” ucap Rama pergi langsung berlari menuju pintu keluar. 

***SELESAI***

Komentar

Postingan Populer