DIA (Cerpen)


Sumber gambar dari Google


DIA

Aku memanggilnya Dia. Itu bukan sebuah nama, tapi sebuah wujud rasa hormat karena tak mungkin Aku memberi nama pada Dia seenaknya. Dia terlihat, tapi juga tak terlihat. Dia terlihat oleh sebagian orang saja dan mungkin sebagian orang itu adalah anak kecil. Dia ada di mana-mana, bahkan mungkin ada di sekitar kita. Dia, pernah sekali terlihat olehku dan keponakanku. Tak bergerak, hanya berdiri mematung tanpa adanya interaksi. Kalian percaya dengan Dia?

Awal mula Aku melihat Dia adalah saat Aku masih duduk di bangku kelas 2 SD. Waktu itu malam akhir bulan Ramadan, tepatnya sepulang dari acara takbiran di masjid dekat rumah. Aku berada di kamar bersama Mamak (panggilanku terhadap ibuku) untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa besok sewaktu solat Id. Sayup-sayup masih terdengar suara takbir dari masjid maupun para pemuda pemudi yang berkeliling desa meramaikan acara takbir keliling.

Jendela kamar dibiarkan terbuka oleh Mamak karena beliau merasa sangat kegerahan. Jendela kamar menghadap langsung ke belakang rumah. Kondisi halaman belakang rumah sangat kecil karena sudah dibatasi tembok setinggi 1,5 meter dan dibelakang tembok hanya ada kebun tak terawat yang ditumbuhi banyak rumput ilalang. Sambil tiduran, Aku merasakan angin bertiup perlahan yang membuatku merasa mengantuk. Tapi karena Aku tak ingin tidur terlalu awal, Aku akhirnya duduk sambil melihat Mamakku yang masih merapikan baju di lemari.

"Mak, udah selesai buat besok?" Tanyaku melihatnya.

"Udah selesai. Mending kamu tidur sekarang. Besok kita berangkat pagi," Ucapnya tanpa melihatku karena sibuk merapikan baju yang acak-acakkan.

Aku cemberut dan menolehkan kepala hingga melihat tembok pembatas rumah. Tembok dari batako yang dipenuhi lumut karena jarang dibersihkan. Bapak dan Mamak juga malas membersihkannya toh juga tidak terlihat orang-orang karena letaknya dibelakang rumah. Tak ada yang aneh dari tembok itu, tapi anehnya waktu itu Aku menatap tembok itu begitu lama, membuatku yang tadi duduk menjadi berdiri diatas kasur seperti ada yang memantraiku untuk melihat di balik tembok tersebut. Angin menerpa wajahku pelan saat Aku tepat berada di depan jendela kamar yang terbuka. Di luar sana sangat gelap hingga tidak terlihat apapun. Anehnya, disanalah Aku melihat Dia yang berdiri dalam kegelapan. Aku melihatnya berdiri tanpa bergerak seperti patung. Rumput-rumput ilalang yang tinggi tak berhasil menutupi eksistensinya. Dia memakai gaun putih yang menjuntai serta wajahnya tertutup oleh rambutnya yang tergerai berantakan. Disana begitu gelap, tapi entah bagaimana Aku bisa melihatnya berdiri di tengah kebun yang lapang.

Aku membisu terdiam, mengamati dari jendela kamar yang terbuka. Angin tertiup sepoi-sepoi menghantam wajahku. "Mak," Panggilku terhadap Mamakku yang belum menyadari anaknya sedang melihat sesuatu. Saat Aku memanggil Mamak, Aku masih melihat Dia yang berdiri terdiam.

Beberapa detik berlalu dan tak ada sahutan. "Mak!" Panggilku agak kencang supaya Mamak menyahut panggilanku.

"Kenapa to nduk? Kamu tidur aja dulu, Mamak belum selesai beresin baju." Sahut Mamakku agak kesal karena Aku memanggilnya terlalu keras.

Aku tak menggubrisnya dan tetap melihat ke luar jendela. "Mak, itu siapa yang diluar? Kok sendirian?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah Dia. Aku tak menoleh ke arah Mamakku saat bertanya seperti itu. Tiba-tiba Mamakku memegang pundakku dan membuatku menoleh padanya.

"Siapa yang kamu lihat? Di mana?" Tanya Mamakku sambil menatap keluar jendela. Aku menatap ke arah Dia yang masih berdiri diluar sana dan langsung menunjuk posisi Dia yang berdiri di tengah kebun untuk memberi tau Mamakku. Saat itu, Aku masih ingat raut wajah dan tingkah Mamak yang terlihat gelisah. Ia langsung menutup jendela rapat-rapat dan menyuruhku untuk tidur cepat sambil marah-marah. "Dibilangin langsung tidur kok ngeyel to! Udah sana tidur." Mamak merebahkanku dan ikut tidur disampingku.

Setelah kejadian malam itu, Aku selalu ditanya Bapak soal Dia. Apakah Aku melihatnya lagi di luar jendela atau apakah Aku merasa aneh ditubuhku, dan Aku selalu menjawab tidak. Aku tau Mamak memberitahu Bapak soal malam itu. Setiap kali ditanya tentang malam itu, Aku sering melihat keluar jendela waktu malam hari untuk melihat Dia. Tapi Aku tak pernah melihatnya lagi.

Waktu terus berlalu dan Aku mulai mengabaikan keberadaan Dia. Bapak juga tak pernah bertanya lagi. Kupikir saat itu hanya halusinasiku karena sedang mengantuk. Namun Aku salah jika mengira Dia hanya halusinasiku. Dia nyata. Dia hanya tak menampakkan diri sejenak dan berpindah tempat, ketempat yang menurutnya bisa dilihat dengan mudah oleh anak kecil seperti diriku dulu.

Saat itu, Aku menginjak bangku SMK dan sedang musim libur sekolah setelah ujian. Seperti biasa setiap musim libur sekolah keluarga kakak pulang ke rumah kami. Kakak memiliki seorang anak laki-laki yang saat itu berusia 5 tahun sedangkan istrinya / mbak iparku sedang mengandung anak keduanya. Keponakanku anak yang ceria dan terbuka dengan hal apapun. Terkadang, Aku sedikit kesal ketika ia banyak bertanya ini itu.

Matahari mulai terbenam dan adzan maghrib berkumandang. Solat maghrib dilaksanakan secara berjamaah di mushola yang dibangun di pekarangan samping rumah. Saat keluar rumah dan akan mengambil air wudhu dekat mushola, Aku disambut angin yang berhembus cukup kuat. Tak biasanya angin berhembus sekuat itu, 'apa akan turun hujan?' pikirku dalam hati. Setelah mengambil air wudhu dan akan memasuki mushola, didepan ada keponakan dan mbak ipar yang belum juga masuk padahal tadi mereka sudah mengambil air wudhu terlebih dahulu. Aku menghampiri mereka pelan-pelan dan samar-samar dapat kudengar percakapan mereka yang membuatku teringat tentang kejadian waktu itu.

"Bunda, itu siapa kok cuma berdiri di belakang pohon?" Tanya keponakanku sambil menunjuk pohon mangga di samping mushola.

"Hah? Mana? Gak ada orang. Ayo masuk." Ucap mbak ipar yang terlihat kebingungan.

"Ada bunda. Itu! Kok gak ikut masuk solat. Itu lho bunda. Disitu. Dibelakang pohon." Tunjuk keponakanku mulai heboh.

"Udah ayo masuk dulu." Desak mbak iparku yang sepertinya mulai ketakutan.

Mereka akhirnya masuk ke mushola. Aku berdiri mematung dan melihat ke arah yang ditunjuk keponakanku, tapi seperti yang mbak iparku ucapkan disana tidak ada siapapun. Mamakku menepuk pundakku yang ternyata Mamak juga mendengarkan percakapan tadi. Mamak menyuruhku masuk karena sudah iqomah. Setelah solat maghrib, keponakanku tiba-tiba berlari keluar mushola yang untungnya langsung diikuti kakak. "Ayah kok orangnya udah gak ada?" Tanya keponakanku yang suaranya terdengar sampai dalam. Kakakku langsung mengajak keponakanku pulang kerumah. Disusul mbak ipar yang masih terdiam. Tersisa Aku, Mamak dan Bapak di dalam mushola. Saat kami masih berdzikir, dapat kurasakan angin masuk berhembus sepoi-sepoi lalu hilang.

Aku, Mamak dan Bapak selesai berdoa dan bersiap untuk pulang kerumah. Mamak menghampiriku yang menunggu diluar dan sedang menatap pohon mangga. "Jangan dicari lagi ya nduk. Dunia kamu sama dunia Dia itu berbeda. Mamak dan Bapak gak bisa tolong kamu kalo kamu sampe dibawa sama Dia." Ucap Mamakku disusul Bapak mengusap pelan kepalaku untuk menyadarkanku untuk tak mengambil pusing kejadian hari ini.

Waktu terus berjalan hingga keponakanku melupakan sosok Dia. Tapi Aku tidak lupa, terkadang Aku sering melihat keluar jendela waktu malam hari atau melihat pohon mangga samping mushola untuk bisa melihat Dia lagi. Aku tau Aku sudah diperingati untuk tidak mengusik sosok dari dunia lain, tapi entah kenapa Aku ingin sekali melihatnya lagi. Mungkin Dia tak ingin lagi menampakkan diri lagi. Atau mungkin Dia hanya terlihat oleh anak kecil saja? Sampai sekarang tidak ada lagi yang bertemu atau melihat sosok Dia lagi, termasuk Aku maupun keponakanku.

--SELESAI-- 

Komentar

Postingan Populer